Selasa, 29 Maret 2011

STATUS PERIKANAN TERIPANG DI INDONESIA


Negara-negara Asia Tenggara telah menangkap teripang untuk diperdagangan ke Cina selama berabad-abad, dan pada akhir 1900-an populasi teripang menurun di berbagai daerah karena semakin banyak nelayan yang menangkap teripang dan pengenalan teknologi baru penangkapan teripang yang lebih efsien.
Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia. Pada tahun 1974, untuk melindungi sumberdaya hayati perairan wilayah utara Australia, Pemerintah Australia dan Indonesia membuat nota kesepahaman (MOU) untuk menetapkan lima lokasi (Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef and Browse Islet) di perairan utara Australia dimana nelayan Indonesia diperbolehkan menangkap teripang, lola, kerang hijau, sponge dan semua molluska.
Menurut sebuah laporan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), spesies tropis dan sub-tropis yang sangat dieksploitasi secara global dan populasi yang terancam habis meliputi Holothuria fuscogilva, H. whitmaei, H. scabra dan T. ananas, dan spesies yang banyak ditangkap di negara-negara tertentu termasuk Asia adalah: A.echinites, H. scabra versicolor, A. lecanora, A. miliaris, A. mauritiana, S. herrmanni, S.horrens dan S. chloronotus. Spesies berada di bawah ancaman potensial penangkapan ikan adalah B. argus dan H. fuscopunctata.. Di daerah beriklim sub tropis, teripang termasuk A. japonicus juga telah dilaporkan akan habis di Korea Utara dan Rusia.
Survey yang dilakukan oleh Operation Wallacea di Pulau Hoga Sulawesi menyatakan total kepadatan Teripang 5 ind/100 m2, Namun karena tidak tersedianya data sebelumnya sehingga tidak ada pembanding untuk mengetahui status pupulasi teripang. Di kepualuan Spermonde Sulawesi Selatan, teriang telah diteliti bersamaan dengan survey terumbu karang hingga kedalaman 20 meter. 10 tahun Sejak diperkenalkan teknik Hookah Diving mengakibatkan spesies teripang ekonomis tinggi sangat jarang ditemukan, begitu juga dengan spesies yang kurang ekonomis juga menghilang di perairan ini. Pada akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 nelayan Bajau di pulau Wanci kepulauan Tukang Besi beralih ke penangkapan ikan hiu karena tingginya harga sirip hiu dan semakin kurangnya hasil tangkapan teripang.
Tiga puluh lima spesies teripang yang merupakan ordo Aspidochirotida dan Dendrochirotida dieksploitasi secara komersial di Indonesia. Spesies ini diberi nama local oleh nelayan dan sering dijumpai nama lokal yang berbeda pada spesies yang sama sehingga membingungkan dalam taksonomi. Ekspor teripang tidak dipisahkan berdasakan spesies mengakibatkan rincian status produksi tidak tersedia.
Spesies yang paling banyak dieksploitasi di Indonesia adalah A. echinites, A. mauritiana,A. miliaris, B. argus, B. vitiensis, H. atra, H. edulis, H. fuscogilva, H. fuscopunctata,H. whitmaei, H. scabra, H. scabra var. versicolor, H. coluber, S. chloronotus,S. herrmanni, T. ananas and T. anax. Actinopyga spp merupakan spesies yang paling mahal, saat ini hampir punah dan sangat jarang ditemukan di Kepulauan Spermonde karena banyaknya nelayan yang memburu spesies ini.
H. scabra telah mengalami penangkapan berlebih di Sulawesi, dan di beberapalokasi itu dianggap sebagai spesies langka. Di Bali dan Lombok hanya sedikt teripang yang ditemukan pada suatu penelitian tahun 1998. Di Kepulauan Spermonde, S. herrmanni yang tertangkap umumnya berukuran kecil, dalamseribu spesimen, 36,0 persen sekitar 16,5 cm, 24,5 persen27,3 cm, 19,9 persen adalah 33,8 cm dan 10,0 persen adalah 40 cm. Ukuran minimum untuk eksploitasi di Queensland untuk S.herrmanni 35 cm yang berarti bahwa hanya sekitar 10 persen dari nelayan di Spermonde yang menangkap teripang berdasarkan aturan yang diterapkan di Queensland.
Penangkapan berlebih teripang telah meningkat drastic sejak dekade lalu. Saat ini teripang hanya didaratkan oleh nelayan skala kecil dan menengah dengan kapasitas kapal kurang dari 10 GT. Kapal penangkapan meningkat dari 4 menjadi 50 buah pada tahun 2003 di pulau Barrang Lompo. Hasil penagkapan per unit kapal msih sangat rendah sekitar 1000 ekor per bulan dibanding dengan 2500 ekor selama 5 hari di perairan Australia. 10 tahun yang lalu, hasil penangkapan dengan trawl sekitar 10 – 20 ekor permalam atau 3 – 7 ekor H. scabra per trawl, dibandingkan dengan saat ini hanya menangkap 1 – 2 ekor setiap malam, atau 0, 33 – 0, 66 per trawl. Perdagangan teripang di Nusa Tenggala Barat mengalami kemunduran berkurang dari 17, 7 ton pada tahun 1993 menjadi 6,3 ton pada tahun 1994 dengan kualitas rendah.

0 komentar:

Posting Komentar